BAGINDA RASULULLAH SAW;
Apa kamu mencintai beliau?
Apa kamu pernah bermimpi untuk bertemu dengan beliau?
Aku pernah dan aku sangat ingin bertemu dengan beliau.
Beliau lah Muhammad, seorang yatim sekaligus anak yang mengecap banyak kehilangan semenjak masa kanak-kanaknya. Cobaan telah membentuknya hingga dapat menjadikan jazirah arab kedalam genggamannya.
satu cerita yang terus menjadi hal yang sangat membuat saya mencintai beliau adalah kisah di hari wafatnya.
Dikutip dari : here
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah pingsan ketika sakit,” tutur Salim bin ‘Ubaid radhiyallahu ‘anhu
memulai kisah kematian Rasulullah.
Setelah siuman, Rasulullah bertanya, “Apakah waktu shalat telah tiba?”
Para Sahabat menjawab, “Ya.”
“Perintahkan
kepada Bilal agar dia mengumandangkan adzan, dan perintahkan kepada Abu
Bakar agar ia mengimami shalat, agar ia menjadi imam shalat bagi kaum
Muslimin!”
Kemudian Rasulullah kembali pingsan. Setelah siuman lagi, beliau bertanya, “Apakah waktu shalat telah tiba?”
Para Sahabat menjawab, “Ya.”
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kembali, “Perintahkan kepada
Bilal agar dia mengumandangkan adzan, dan perintahkan kepada Abu Bakar
agar ia mengimami shalat!”
Mendengar
perintah itu, Aisyah berkata, “Sesungguhnya ayahku adalah seorang ’Asiif
(mudah menangis). Apabila ia melakukan apa yang engkau perintahkan itu,
niscaya ia akan menangis dan tidak bisa melanjutkannya. Seandainya
engkau perintahkan kepada yang lainnya (tentu hal itu lebih baik)?”
Kemudian
beliau pingsan lagi. Setelah siuman, beliau bersabda, “Perintahkan
kepada Bilal agar dia mengumandangkan adzan, dan perintahkan kepada Abu
Bakar agar ia mengimami shalat. Sesungguhnya kalian (para wanita)
seperti kaum wanita Nabi Yusuf!”
Maksud Rasulullah adalah bahwa Aisyah seperti kaum wanita Nabi Yusuf dalam hal tidak menampakkan secara lahiriyah apa yang sebenarnya ada pada hati mereka, sebagaimana dijelaskan dalam Fa-thul Bari. ‘Aisyah mengatakan demikian supaya orang-orang tidak memberikan penilaian negatif terhadap ayahnya radhiyallahu ‘anhu. Makna ini tertera dalam Shahiihul Bukhari dan Muslim.
Maksud Rasulullah adalah bahwa Aisyah seperti kaum wanita Nabi Yusuf dalam hal tidak menampakkan secara lahiriyah apa yang sebenarnya ada pada hati mereka, sebagaimana dijelaskan dalam Fa-thul Bari. ‘Aisyah mengatakan demikian supaya orang-orang tidak memberikan penilaian negatif terhadap ayahnya radhiyallahu ‘anhu. Makna ini tertera dalam Shahiihul Bukhari dan Muslim.
Lalu Bilal radhiyallahu ‘anhu
diperintahkan untuk adzan dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu
diperintahkan untuk mengimami shalat kaum Muslimin.
Ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merasakan kondisinya agak
membaik, beliau bersabda, “Carilah orang yang akan memapahku!”
Maka
datanglah Burairah radhiyallahu ‘anhu dan dan seorang laki-laki
lainnya. Dalam riwayat lain, Rasulullah dipapah Abbas, putranya Fadhl,
dan atau Ali bin Abi Thalib. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dipapah oleh keduanya menuju masjid. Ketika Abu Bakar
melihatnya, ia pun mundur ke belakang agar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dapat menempati posisinya. Akan tetapi, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan kepadanya agar ia tetap di
tempatnya hingga Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menyelesaikan shalatnya.
Pada
suatu hari karena Abu Bakar tidak ada di tempat ketika oleh Bilal
dipanggil hendak bersembahyang, maka Umar lah yang dipanggil untuk
memimpin orang-orang bersembahyang sebagai pengganti Abu Bakar. Oleh
karena Umar orang yang punya suara
lantang, maka ketika mengucapkan takbir di mesjid, suaranya terdengar oleh Muhammad dari rumah Aisyah.
lantang, maka ketika mengucapkan takbir di mesjid, suaranya terdengar oleh Muhammad dari rumah Aisyah.
“Mana Abu Bakar?” tanyanya. “Allah dan kaum Muslimin tidak menghendaki yang demikian.”
Dengan
demikian orang dapat menduga, bahwa Nabi menghendaki Abu Bakar sebagai
penggantinya kemudian, karena memimpin orang-orang bersembahyang sudah
merupakan tanda pertama untuk menggantikan kedudukan Rasulullah.
Tatkala
sakitnya sudah makin keras, panas demamnya makin memuncak,
isteri-isteri dan tamu-tamu yang datang menjenguknya, bila meletakkan
tangan di atas selimut yang dipakainya, terasa sekali panas demam yang
sangat meletihkan itu. Dan Fatimah puterinya, setiap hari datang
menengok. Ia sangat mencintai puterinya itu, cinta seorang ayah kepada
anak yang hanya tinggal satu-satunya sebagai keturunan.
Apabila
ia datang menemui Nabi, ia menyambutnya dan menciumnya, lalu
didudukkannya di tempat ia duduk. Tetapi setelah sakitnya demikian
payah, puterinya itu datang menemuinya dan mencium ayahnya.
“Selamat
datang, puteriku,” katanya. Lalu didudukkannya ia disampingnya. Ada
kata-kata yang dibisikkannya ketika itu, Fatimah lalu menangis. Kemudian
dibisikkannya kata-kata lain Fatimah pun jadi tertawa. Bila hal itu
oleh Aisyah ditanyakan, ia menjawab:
“Sebenarnya saya tidak akan membuka rahasia Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.”
Tetapi
setelah Rasul wafat, ia mengatakan, bahwa ayahnya membisikkan
kepadanya, bahwa ia akan meninggal oleh sakitnya sekali ini. Itu
sebabnya Fatimah menangis. Kemudian dibisikkannya lagi, bahwa puterinya
itulah dari keluarganya yang pertama kali akan menyusul. Itu sebabnya ia
tertawa.
Karena panas demam yang
tinggi itu, sebuah bejana berisi air dingin diletakkan disampingnya.
Sekali-sekali ia meletakkan tangan ke dalam air itu lalu mengusapkannya
ke muka. Begitu tingginya suhu panas demam itu, kadang ia sampai tak
sadarkan diri. Kemudian ia sadar kembali dengan keadaan yang sudah
sangat payah sekali. Karena perasaan sedih yang menyayat hati, pada
suatu hari Fatimah berkata mengenai penderitaan ayahnya itu, “Alangkah
beratnya penderitaan ayah!”
“Tidak.
Takkan ada lagi penderitaan ayahmu sesudah hari ini,” jawabnya.
Maksudnya ia akan meninggalkan dunia ini, dunia duka dan penderitaan.
Suatu
hari sahabat-sahabatnya berusaha hendak meringankan penderitaannya itu
dengan mengingatkan kepada nasehat-nasehatnya, bahwa orang yang
menderita sakit jangan mengeluh. Ia menjawab, bahwa apa yang dialaminya
dalam hal ini lebih dari yang harus dipikul oleh dua orang. Dalam
keadaan sakit keras serupa itu dan di dalam rumah banyak orang, ia
berkata, “Bawakan dawat dan lembaran, akan ku (minta) tuliskan surat
buat kamu, supaya sesudah itu kamu tidak lagi akan pernah sesat.”
Dari
orang-orang yang hadir ada yang berkata, bahwa sakit Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam sudah sangat gawat; pada kita sudah ada
Qur’an, maka sudah cukuplah dengan Kitabullah itu. Ada yang menyebutkan,
bahwa Umarlah yang mengatakan itu. Di kalangan yang hadir itu terdapat
perselisihan. Ada yang mengatakan: Biar dituliskan, supaya sesudah itu
kita tidak sesat. Ada pula yang keberatan karena sudah cukup dengan
Kitabullah.
Setelah melihat
pertengkaran itu, Muhammad berkata: “Pergilah kamu sekalian! Tidak patut
kamu berselisih di hadapan Nabi.” Tetapi Ibn ‘Abbas masih berpendapat,
bahwa mereka membuang waktu karena tidak segera menuliskan apa yang
hendak dikatakan oleh Nabi. Sebaliknya Umar masih tetap dengan
pendapatnya, bahwa dalam Kitab Suci Tuhan berfirman, “Tiada sesuatu yang
Kami abaikan dalam Kitab itu.” (Qur’an, 6:38)
Berita
sakitnya Nabi yang bertambah keras itu telah tersiar dari mulut ke
mulut, sehingga akhirnya Usamah dan anak buahnya yang ada di Jurf itu
turun pulang ke Medinah. Bila Usamah kemudian masuk menemui Nabi di
rumah Aisyah, Nabi sudah tidak dapat berbicara. Tetapi setelah
dilihatnya Usamah, ia mengangkat tangan ke atas kemudian meletakkannya
kepada Usamah sebagai tanda mendoakan.
Melihat
keadaannya yang demikian keluarganya berpendapat hendak membantunya
dengan pengobatan. Asma’- salah seorang kerabat Maimunah-telah
menyediakan semacam minuman, yang pernah dipelajari cara pembuatannya
selama ia tinggal di Abisinia. Tatkala Nabi sedang dalam keadaan pingsan
karena demamnya itu, mereka mengambil kesempatan menegukkan minuman itu
ke mulutnya. Bila ia sadar kembali ia bertanya, “Siapa yang membuatkan
ini? Mengapa kamu melakukan itu?”
“Kami kuatir Rasulullah menderita sakit radang selaput dada,” kata ‘Abbas pamannya.
“Allah tidak akan menimpakan penyakit yang demikian itu kepadaku.”
Kemudian disuruhnya semua yang hadir dalam rumah supaya meminum obat itu, tidak terkecuali Maimunah meskipun sedang berpuasa.
Muhammad
memiliki harta tujuh dinar ketika penyakitnya mulai terasa berat.
Kuatir bila ia meninggal harta masih di tangan, maka dimintanya supaya
uangnya itu disedekahkan. Tetapi karena kesibukan mereka merawat dan
mengurus selama sakitnya dan penyakit yang masih terus memberat, mereka
lupa melaksanakan perintahnya itu. Setelah hari Minggunya sebelum hari
wafatnya ia sadar kembali dari pingsannya, ia bertanya kepada mereka,
“Apa yang kamu lakukan dengan (dinar) itu?”
Aisyah
menjawab, bahwa itu masih ada di tangannya. Kemudian dimintanya supaya
dibawakan. Ketika uang itu sudah diletakkan di tangan Nabi, ia berkata,
“Bagaimanakah jawab Muhammad kepada Tuhan, sekiranya ia menghadap Allah,
sedang ini masih di tangannya.”
Kemudian semua uang dinar itu disedekahkan kepada fakir-miskin di kalangan Muslimin.
Malam
itu Muhammad dalam keadaan tenang. Panas demamnya sudah mulai turun,
sehingga seolah karena obat yang diberikan keluarganya itulah yang sudah
mulai bekerja dan dapat melawan penyakitnya. Sampai-sampai karena itu
ia dapat pula di waktu subuh keluar rumah pergi ke mesjid dengan berikat
kepala dan bertopang kepada Ali bin Abi Talib dan Fadhl bin Abbas. Abu
Bakar waktu itu sedang mengimami orang-orang bersembahyang. Setelah kaum
Muslimin yang sedang melakukan salat itu melihat Nabi datang, karena
rasa gembira yang luarbiasa, hampir-hampir mereka terpengaruh dalam
sembahyang itu. Tetapi Nabi memberi isyarat supaya mereka meneruskan
salatnya. Bukan main Muhammad merasa gembira melihat semua itu.
Abu
Bakar merasa apa yang telah dilakukan mereka itu, dan yakinlah dia
bahwa mereka tidak akan berlaku demikian kalau tidak karena Rasulullah.
Ia surut dari tempat sembahyangnya untuk memberikan tempat kepada
Muhammad. Tetapi Muhammad mendorongnya dari belakang seraya katanya
Pimpin terus orang bersembahyang. Dia sendiri kemudian duduk di samping
Abu Bakar dan sembahyang sambil duduk di sebelah kanannya
Selesai
sembahyang ia menghadap kepada orang banyak, dan kemudian berkata
dengan suara agak keras sehingga terdengar sampai ke luar mesjid,
“Saudara-saudara. Api (neraka) sudah bertiup. Fitnah pun datang seperti
malam gelap gulita. Demi Allah, janganlah kiranya kamu berlindung
kepadaku tentang apa pun. Demi Allah, aku tidak akan menghalalkan
sesuatu, kecuali yang dihalalkan oleh Qur’an, juga aku tidak akan
mengharamkan sesuatu, kecuali yang diharamkan oleh Qur’an. Laknat Tuhan
kepada golongan yang mempergunakan pekuburan mereka sebagai mesjid.”
Melihat
tanda-tanda kesehatan Nabi yang bertambah maju, bukan main gembiranya
kaum Muslimin, sampai-sampai Usamah bin Zaid datang menghadap kepadanya
dan minta ijin akan membawa pasukan ke Syam, dan Abu Bakarpun datang
pula menghadap dengan mengatakan, “Rasulullah! Saya lihat engkau
sekarang dengan karunia dan nikmat Tuhan sudah sehat kembali. Hari ini
adalah bagian Bint Kharija. Bolehkah saya mengunjunginya?”
Nabi
pun mengijinkan. Abu Bakar segera berangkat pergi ke Sunh di luar kota
Medinah – tempat tinggal isterinya. Umar dan Ali juga lalu pergi dengan
urusannya masing-masing. Kaum Muslimin sudah mulai terpencar-pencar
lagi. Mereka semua dalam suasana suka-cita dan gembira sekali, – sebab
sebelum itu mereka semua dalam kesedihan, berwajah suram setelah
mendapat berita bahwa Nabi dalam keadaan sakit, demamnya semakin keras
sampai ia pingsan.
Kemudian minta
disediakan sebuah bejana berisi air dingin dan dengan meletakkan tangan
ke dalam bejana itu ia mengusapkan air ke wajahnya; dan bahwa ada
seorang laki-laki dari keluarga Abu Bakar datang ke tempat Aisyah dengan
sebatang siwak di tangannya. Muhammad memandangnya demikian rupa, yang
menunjukkan bahwa ia menginginkannya. Oleh Aisyah benda yang di tangan
kerabatnya itu diambilnya, dan setelah dikunyah (ujungnya) sampai lunak
diberikannya kepada Nabi. Kemudian dengan itu ia menggosok dan
membersihkan giginya.
Sementara ia
sedang dalam sakratulmaut, ia menghadapkan diri kepada Allah sambil
berdoa, “Allahumma ya Allah! Tolonglah aku dalam sakratulmaut ini.”
Aisyah
berkata -yang pada waktu itu kepala Nabi berada di pangkuannya, “Terasa
olehku Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sudah memberat di
pangkuanku. Kuperhatikan air mukanya, ternyata pandangannya menatap ke
atas seraya berkata, “Ya Rafiq Al A’la, dari surga.”
“Kataku,
‘Engkau telah dipilih maka engkau pun telah memilih. Demi Yang
mengutusmu dengan Kebenaran.’ Maka Rasulullah pun berpulang sambil
bersandar antara dada dan leherku dan dalam giliranku. Aku pun tiada
menganiaya orang lain. Dalam kurangnya pengalamanku dan usiaku yang
masih muda, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berpulang ketika ia
di pangkuanku. Kemudian kuletakkan kepalanya di atas bantal, aku berdiri
dan bersama wanita-wanita lain aku memukul-mukul mukaku.”
Kemudian berita kematian Rasulullah menyebar ke segenap Madinah.
Umar
bin Khathab radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Demi Allah jika aku mendengar
seseorang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah
wafat, maka aku akan membunuhnya dengan pedangku ini.”
Semua
orang yang ada ketika itu adalah orang yang tidak dapat membaca (umi).
Belum pernah ada Nabi yang diutus kepada mereka sebelumnya. Orang-orang
pun tidak ada yang berani mengomentari perihal wafatnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berkata, “Wahai Salim! Pergi dan
temuilah salah seorang Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
lalu panggilah ia.”
Salim bin Ubaid pun bergegas menemui Abu Bakar yang saat itu berada di masjid. Aku menemuinya sambil menangis. Dan ketika Abu Bakar melihatku, ia bertanya, “Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat?”
Salim bin Ubaid pun bergegas menemui Abu Bakar yang saat itu berada di masjid. Aku menemuinya sambil menangis. Dan ketika Abu Bakar melihatku, ia bertanya, “Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat?”
Ia
menjawab, “Sesungguhnya ‘Umar mengatakan, “Tidaklah aku mendengar
seseorang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah
wafat, melainkan aku akan membunuhnya dengan pedangku ini!’”
Lalu Abu Bakar berkata, “Bergegaslah engkau.”
Kemudian
mereka bergegas pergi bersamanya. Ketika Abu Bakar datang, orang-orang
telah lebih dahulu masuk dan melihat jasad Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata:”Wahai
orang-orang berikan jalan untukku!’ Mereka lalu memberikan jalan
untuknya sehingga Abu Bakar langsung memeluk dan menyentuh jasad
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seraya mengucapkan,
“Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka akan mati (pula).” (QS Az Zumar:
30)
Kemudian para Sahabat bertanya, “Wahai Sahabat Rasulullah, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat?”
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Ya.” Dan, mereka percaya bahwa Abu Bakar telah berkata benar.
Kemudian mereka kembali bertanya, “Wahai Sahabat Rasulullah, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan dishalati?”
Ia menjawab, “Ya.”
Ia menjawab, “Ya.”
Mereka bertanya lagi, “Bagaimana?”
Abu
Bakar menjawab, “Sekelompok orang masuk, lalu bertakbir, membaca
shalawat, dan mendoakannya. Setelah itu hendaknya mereka keluar. Lalu
kelompok lainnya masuk, kemudian bertakbir, membaca shalawat, dan
mendoakannya. Kemudian mereka keluar….,” sampai semua orang ikut
menshalatkannya.
Mereka bertanya lagi, ”Wahai Sahabat Rasulullah, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan dimakamkan?”
Ia menjawab, “Ya.”
Mereka bertanya, “Di mana?”
Abu
Bakar, “Di mana Allah mencabut arwahnya, karena sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta’ala tidak mencabut arwahnya melainkan di tempat yang
baik.” Dan mereka pun mengetahui bahwa Abu Bakar telah berkata benar.
Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dimandikan oleh anak-anak dari pihak bapak Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam.
Apakah
yang membuat ‘Umar rmengancam dengan pedangnya seraya berkata, “Demi
Allah, jika aku mendengar seseorang mengatakan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat, maka aku akan membunuhnya
dengan pedangku ini!”
Sungguh,
kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan perihal yang
sangat besar bagi dirinya. Sesungguhnya kedudukan beliau shallallahu
‘alaihi wasallam begitu tinggi di hatinya. Ia benar-benar mencintai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melebihi cintanya terhadap
drinya sendiri, anaknya, iatrinya, hartanya, dan manusia seluruhnya.
Lalu, bagaimana kiranya perasaan Sahabat yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat?
Sungguh,
seluruh Sahabat belum pernah mempunyai seorang Nabi sebelum Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengajarkan kepada mereka apa yang
seharusnya mereka lakukan. Karena ietulah mereka menahan diri untuk
bicara.
Adapun Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu, ia memeluk dan menyentuh jenazah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam seraya membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Sesungguhnya
kamu akan mati dan mereka akan mati (pula).” (QS.Az-Zumar: 30)
Ini
menunjukkan pemahaman Abu Bakar terhadap Al Quran. Ia memahami dari
ayat ini bahwa kematian adalah perkara yang pasti akan dialami oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam.
Namun,
situasi yang begitu genting serta besarnya kecintaan para Sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lah yang membuat mereka bersikap
berbeda dari semestinay, dan ini bukan merupakan sesuatu yang
mengherankan. Sebab, sosok yang pergi meninggalkan mereka adalah Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam!
Berapa
banyak manusia ditinggal pergi oleh anak-anaknya, lalu mereka pingsan,
bahkan di antara mereka ada pula yang menyusul kematian anaknya
tersebut. Di antara mereka ada pula yang sampai kehilangan akalnya,
bahkan ada pula yang terkena penyakit berbahaya.
Kemudian
para Sahabat bertanya, “Wahai Sahabat Rasulullah, apakah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat?’ Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu
menjawab, “Ya’. Dan, mereka percaya bahwa Abu Bakar telah berkata benar.
Ketika
itulah para Sahabat merasa tenang dan menyadari bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata:
“Pada hari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki kota Madinah, segala sesuatu di
kota tersebut menjadi begitu terang. Tetapi, pada hari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, segala sesuatu di kota tersebut
menjadi begitu gelap. Belum lagi kami selesai menguburkan beliau, kami
telah mengingkari apa yang ada dalam hati kami.” [HR. Imam Ibnu Majah
rahimahullah, Shahih Sunan Ibnu Majah no.1327]
Kehilangan seseorang yang sangat kau cintai, menyedihkan. seorang nabi, seorang yang tidak tergantikan lagi di dunia ini. Bahkan di detik terakhir kematiannya, beliau masih sempat memikirkan umatnya. Ya Allah, begitu besar kecintaan Nabi mu kepada kami.
Allah yang mencintai kita, dan Nabi yang memikirkan nasib umatnya. Apalagi yang kita harapkan?
Mari kita berharap agar bertemu dengan beliau di surgaNya kelak. Melihat senyuman beliau, itu yang kuharapkan.
-------------------------------------------xXx------------------------------------------------
عَنْ أَنَسٍ قَالَ
قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى
أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ
أَجْمَعِينَ
Dari Anas r.a. ia berkata, Rasulullah SAW bersabda,
"Tidak sempurna keimanan seseorang diantara kalian hingga ia lebih
mencintai aku daripada kedua orangtuanya, anaknya, dan manusia
semuanya."
No comments:
Post a Comment
Your Comment is Our Order, Your Majesty