REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG -- Ketika aku sedang serius menggeluti
pencarian kebenaran ini, datanglah seorang teman yang kebetulan adalah
seorang Muslim. Ia dating dan membawa Alquran lengkap dengan
terjemahannya. Ia memintaku untuk membaca terjemahan isi Alquran agar
aku lebih memahami Islam dari aspek kitab sucinya.
Aku pun mulai
berpikir terbuka. Semua hal yang berhubungan dengan Islam atau Saksi
Yahuwa aku kumpulkan dan aku baca serta aku renungkan, hingga hati
kecilku meyakini dan membenarkan akan ajaran Islam. Hanya saja saat itu
aku belum berikrar masuk Islam karena baru sebatas mengetahui bahwa
Islam mengajarkan hal yang benar, saat itu tahun 2008.
Pada tahun
2009 aku pergi meninggalkan Bogor. Kota dengan julukan Kota Hujan ini
ternyata tidak cocok bagi orang sepertiku. Aku harus pergi karena
pekerjaan yang kulakukan di sana banyak berhubungan dengan dunia yang
semu ini. Kemudian aku berpikir untuk pindah ke Cisalak.
Sejak
meninggalkan Bogor, berbagai hal yang berkaitan dengan informasi ruhani
terputus disebabkan situasi dan kondisi yang serba terbatas. Tahun 2010
aku berpindah lagi untuk yang kesekian kalinya. Hidupku benar-benar
seperti kisah seorang pengelana yang berpindah dari satu tempat ke
tempat yang lain.
Nomaden, tidak ada tempat untuk menetap. Di
tahun inilah aku berpindah ke tempat kakak kandungku di Mampang Jakarta
Selatan. Di situlah aku mulai membangun semangat beribadah yang selama
ini mulai surut.
Aku yang masih beragama Katolik, terkadang
bangun pagi-pagi untuk mengikuti misa harian atau misa pagi yang rutin
dilakukan pukul 06.00 WIB. di gereja Santa Maria yang terletak di Blok
Q. Di gereja, aku menuangkan segala pemikiran yang selama ini ada
padaku. Sekalipun hati kecilku mengetahui bahwa ada kebenaran yang
hakiki dalam kehidupan ini, namun aku masih menganut keyakinanku yang
lama.
Keyakinan inilah yang selalu ditanamkan pastor kepadaku,
dan kami semua. Inilah yang membuatku sulit untuk meninggalkan agama
lamaku karena memang masih ada sisa-sisa keyakinan dalam diriku.
Meskipun demikian, aku masih punya keyakinan akan kebaikan yang
disebarkan oleh pastor kepada kami yang tidak mudah kami tinggalkan
begitu saja, khususnya dalam beribadah yang sudah dibangun sejak kecil
serta akan kenangan dalam didikan dan pengajarannya.
Pelan tapi
pasti, mungkin inilah yang dapat ku katakan saat keyakinanku akan
Katolik mulai berguguran. Pada Misa akhir pekan atau Misa umum, yang
pada waktu itu banyak diisi oleh jemaat gereja, timbul pertanyaan kritis
dalam benakku, khusunya mengenai adab umat Kristiani yang datang ke
gereja. Sungguh berbeda dengan adab ketika umat Muslim berada dan
beribadah di Mesjid.
Setidaknya waktu itu muncul empat
pertanyaan dalam benakku; Pertama, mengapa di gereja ketika beribadah
beberapa orang dari para jemaah sempat-sempatnya bermain handphone?
Padahal mereka kan sedang berhadapan dengan Tuhan. Bila berhadapan
dengan sang pencipta langit dan bumi saja sudah seperti itu, bagaimana
ketika berhadapan dengan yang lain? Jika berhadapan dengan manusia bisa
sesopan mungkin, sedangkan menghadap Tuhan tidak, maka sudah pastilah
mereka merendahkan posisi Tuhan dibanding dengan manusia.
Kedua,
mengapa para wanita yang pergi ke gereja banyak mengenakan pakaian yang
kurang sopan, apakah Tuhan menyukai ketidaksopanan mereka dalam
berpakaian? Lantas inikah yang diajarkan Tuhan kepada hamba-Nya? Sungguh
ini adalah sebuah jalan menuju perbuatan dosa. Mereka yang datang
dengan mengenakan rok mini dan pakaian ketat malah akan memancing
penglihatan para laki-laki sehingga bukan malah beribadah, justru akan
membuat mereka berpikiran yang tidak baik selama di dalam gereja.
Ketiga,
mengapa ketika Misa ada yang mengobrol antara laki-laki dengan
perempuan, sebenarnya niat mereka itu untuk beribadah atau hanya sarana
agar bisa saling curhat di gereja? Jika gereja sama dengan tempat
curhat, maka sudah barang tentu gereja akan berubah menjadi tempat
hiburan duniawi yang nantinya akan mendatangkan berbagai mudarat bagi
manusia. Kempat, mengapa ibadah yang umat Kristiani lakukan itu
cenderung pasif. Seperti tidak membawa dampak apapun dalam kehidupan
sehari-hari.
Di gereja hanya bernyanyi, mendengarkan musik, dan
jika ada juga mendengarkan khotbah. Ini seakan ada dalam sebuah peseta
yang mana ada presenter, ada music dan ada nyanyian. Sungguh ini membuat
hatiku bingung dan gundah gulana.
Beranjak dari berbagai
pertanyaan inilah hatiku mengalami ketidakpuasan dalam beribadah. Aku
mulai mengingat pembelajaran akan Islam yang mengajarkan doa dengan adab
dan tata cara yang baik yang dapat menghindarkan diri dari berbuat
maksiat.
Dari buku yang ku baca, Islam mengajarkan tata cara
beribadah dengan baik. Dalam ibadahnya, umat Muslim ketika melakukan
ibadah yang utama seperti salat, tidak pernah terlihat ada yang bermain
handphone. Ini disebabkan jika seorang Muslim bermain handphone ketika
ia sedang ssalat, maka batallah salatnya.
Jelas sekali
perbedaannya, jika dalam kebaktian khususnya saat menyanyikan lagu-lagu
keruhanian, tidak jarang banyak jemaah yang sibuk dengan handphone
mereka. Tidak ada yang membuka aurat, karena itu juga akan mengakibatkan
salat mereka tidak sah. Bahkan bila sedikit pun sudah pasti tidak akan
sah salatnya, baik laki-laki maupun perempuan.
Barisan antara
laki-laki dan perempuan dibedakan ketika melakukan salat. Laki-laki
berada menjadi imam di depan dan berturut barisan berikutnya juga
laki-laki sedang kan perempuan berada di barisan setelah laki-laki.
Sungguh inilah ibadah yang sebenarnya. Menghormati Tuhan karena Tuhan
adalah pemilik semesta alam ini.
Jadi, cara beribadah seorang hamba harus benar-benar menunjukkan kemuliaan terhadap sang penciptanya.
Sumber : here
==================================================================
Ada orang yang berkomentar bahwa ini aadalah pencari popularitas.
Sedih..
Alasan yang beliau Hendri kemukakan bukanlah penghakiman terhadap kaum kristen bahwa ketika di gereja begini dan begitu, tapi alasan tersebut ia temukan saat dirinya menemukan ketidakpuasan terhadap apa yang ia temukan di agama sebelumnya.
Selamat datang di Islam.
Mubarak A'laik
No comments:
Post a Comment
Your Comment is Our Order, Your Majesty