Qiyamullail cuma dua raka’at, masih dengan rasa kantuk yang menyengat, dengan cepat menyelesaikannya demi melanjutkan istirahat. Shubuh pun terlewat, matahari sudah terbit dan kita baru sujud. Dhuha yang hanya dua raka’at pun diabaikan, karena banyaknya pekerjaan kantor yang harus diselesaikan.
Saat waktu dzuhur datang, memilih makan siang. Saat ditanya alasan, “Nanti kerjaan susah mikirnya”. Selesai makan, tanpa sadar berbincang dengan teman sekantor hingga waktu istirahat pun habis dimakan senda gurau. Dzuhur pun terlewat.
Waktu ashar tidak jauh berbeda. Teringat dzuhur belum shalat, lalu dijama’ dengan ashar. Minimnya waktu membuat hanya membaca surah pendek. Ketika shalat berpikir ke kerjaan yang belum selesai. Selesai shalat, langsung bergegas kembali ke ruangan kantor, tanpa doa’, tanpa meminta.
Ketika maghrib, terjebak kemacetan. Menunggu dalam mobil yang dipakai. Kadang memaki karena disalip. Melihat masjid di samping jalan, namun memilih terus berjalan karena mobil di depan telah melaju.
Kala isya, tak ada perbedaan. Tubuh telah lelah. Dan langsung rebah ke kasur yang empuk.
Apakah kehidupan kita hanyaseperti itu saja? Atau tak jauh berbeda?. Padahal shalat adalah tiang agama. Saat ditimbang di yaumullakhir( hari akhir) nanti, shalatlah yang dinilai pertama kali. Ketika pondasi bangunan dinilai cacat, maka seluruh bangunan akan dinilai cacat
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”<Al Hadid ayat 20>
No comments:
Post a Comment
Your Comment is Our Order, Your Majesty