Mendengar bincang-bincang teman suatu waktu “susahnya cari khadimat*
jaman sekarang ya? Mendingan cari sarjana”. Dan memang demikian
keadaannya dalam keadaan era semakin modern, kesadaran masyarakat akan
pendidikan semakin bertambah meski biaya yang dibutuhkan juga tidak
murah. Sehingga ketika sang wanita telah menamatkan sarjana
bahkan doktoralnya berlomba-lomba pula untuk mencari pekerjaan mereka
berdalih bahwa sayang kuiah tinggi-tinggi jika nantinya hanya berkutat
mengurusi rumah tangga, alias “hanya ibu rumah tangga”.
Begitu
rendahnyakah jika seorang sarjana atau doctor kemudian berhidmat dan
totalitas mengurusi ‘tetek bengek’ di rumah tangga suaminya, lantas
apakah salah jika ada sebagian muslimah itu bekerja menjemput rezeki
yang sekiranya ia tidak turun tangan langsung maka ia dan keluarganya
tidak bisa makan. Atau bagaimana jika diantara mereka bekerja hanya
untuk menghibur diri daripada bosan dirumah. Segalanya bisa saja menimpa
pada setiap muslimah, jika saja kita tidak mengetahui ilmunya.
Sekelumit catatan yang saya kutip dari buku dalam suatu bab yang
menggelitik dan sering menjadi perdebatan yang takberujung tentang
muslimah bekerja.
Dan biarlah Al Quran telah menceritakan
tentang Musa AS dan Shafurah. Ketika itu Musa AS meninggalkan Mesir guna
menghindari ancaman pembunuhan. Sesampainya dikota Madyan, sambil duduk
beristirahat di dekat mata air dia melihat gerombolan penggembala
sedang memberi minum ternaknya. Diantara para penggembala dilihatnya dua
orang perempuan menahan dan menambat ternaknya di bawah pohon rindang,
hingga nabi Musa As mendekati dan bertanya :
“Apa maksudmu berbuat demikian terhadap ternakmu?”
“Kami tidak dapat memberi minum ternak sebelum pengembala itu pergi”
“Kalau kamu tidak mau mendekat dan bercampur dengan para pengembala(laki-laki) kenapa datang sendiri?” Tanya Musa As kembali.
“Ayah kami amat lanjut usia, tidak mungkin sanggup menunaikan tugas ini”. (Al Qashash:23)
Melihat dari cerita diatas yang nota bene sejarah yang nyata-nyata
terjadi karena diabadikan dalam Al Qur an mengandung hikmah bahwa pada
dasarnya wanita itu boleh keluar(bekerja) untuk mengambil air dan
memberi minum ternaknya karena terpaksa. Hal itu dikarenakan keuzuran
usia ayah mereka yaitu Nabi Syuaib As. Namun demikian yang perlu digaris
bawahi meski mereka bekerja di dunia luar yang di dalamnya terdapat
laki-laki mereka tidak mengharuskan dirinya bercampur baur dengan para
gembala laki-laki. Yang demikian berarti melakukan pekerjaan dengan
tetap memelihara karakter dan identitas kewanitaannya.
Dalam
Islam, keadaan terpaksa beserta keterpaksaan inilah yang menjadikannya
boleh bekerja. Hukumnya jaiz(boleh) karena Islam tidak mengharamkan
bekerja. Apalagi jika dia berada dalam posisi terpaksa harusbekerja,
misalnya karena terdesak kebutuhan ekonomi: suami sudah tidak mampu
bekera lagi, bercerai dengan suami atau suami meninggal sedangkan tidak
ada orang atau keuarga yang bisa menanggung kebutuhan ekonominya,
sedangkan dia sendiri dapat melakukan suatu usaha untuk mencukupi
dirinya tanpa meminta atau menunggu uluran tangan orang lain. Sehingga
demikian, dia bisa menjaga iffah (harga diri).
Dalam kisah lain
diceritakan bahwa ketika bibi Jabir bin Abdullah keluar rumah untuk
bekerja memetik kurma, dia dihardik oleh seorang untuk tidak keluar
rumah. Kemudian ia melapor kepada Rasulullah yang dengan tegas
mengatakan kepadanya, “petiklah kurma itu, selama untuk kebaikan dan
kemaslahatan.”(Shahih Muslim, juz II, halaman 1211, no hadits 1483).
Yang harus di pahami ukhti fillah, keterpaksaan ini harus memiliki
batas dan aturan yang jelas sehingga tidak kemudian semua wanita lantas
mengatakan setiap dirinya dalam keadaan terpaksa. Batas-batas tersebut
adalah jangan sampai terjadi pergaulan bebas, harus tetap dalam aturan
syari’at Islam baik kepribadian, berjilbab sesuai syari’at, maupun
tingkah laku kesopanan.
Segala sesuatu di atur dalam Islam,
tidak kaku tapi juga tidak melentur sehingga segala hal bisa dihalalkan.
Bagi seorang perempuan, sebuah pekerjaan diluar tidak boleh dijadikan
profesi utama, hanya sebatas keperluan. Profesi utama tetap harus
dititikberatkan pada peran ke dalam(domestic) sebagai istri atau ibu.
Dalam literature fikih, perempuan yang bekerja (sudah menikah)
diharuskan memiliki restu suami ketika dia bekerja. Dia harus terhindar
dari fitnah, menjaga rambu-rambu yang telah ditetapkan dalam Islam serta
dapat tawazun(seimbang) antara peran full time mother(Ibu Rumah Tangga)
yang professional diselingi peran sebagai perempuan yang bekerja. Oleh
karena itu sejatinya adaah Ibu Rumah tangga yang wanita karier bukan
wanita karier yang ibu rumah tangga. Sehingga setinggi apapun jabatan
atau gaji tidak melupakan kewajiban-kewajiban domestic sebagai Istri
ataupun ibu.
Dalam bermasyarakat adakalanya wanita dituntut
keadaan terpaksa dalam keterpaksaan, misalnya mereka dituntut untuk
menangani tugas-tugas tertentu dalam bermuamalah dengan perempuan
misalnya bidan atau dokter kandungan, guru, perawat, penjahit, menuntut
ilmu dsb. Dia bekerja pada fitrahnya sebagai perempuan, dalam hal ini
Rasulullah pernah bersabda “Sesungguhnya telah diizinkan Allah
bagimu(wanita) keluar rumah untuk sesuatu keperluan (yang dibenarkan
oleh syara’)”(HR Bukhori).
Pada akhir pembahasan bahwa intinya
tak salah jika muslimah itu bekerja karena adanya keadaan terpaksa dalam
keterpaksaan, seperti yang dikisahkan oleh Nabi Musa dan Shafurah.
Disana tersirat bahwa sebagai masyarakat yang luhur dan berbudi pekerti,
menolong perempuan supaya mereka tidak berlama-lama dalam keterpaksaan
adalah suatu kewajiban. Masyarakat pun dituntut menciptakan ingkungan
yang kondusif bagi para wanita yang memilih menjadi full time mother.
Hingga taka da lagi cibiran ataupun sindiran yang mengatakan “hanya” ibu
rumah tangga . Karena menjadi ibu rumah tangga adalah kebanggaan yang
harus didukung tidak hanya oleh pihak keluarga tetapi juga andil
masyarakat. Ketahuilah jika seorang wanita memilih berkarier di dalam
rumah tangga berarti dia telah memberikan kesempatan kerja satu orang
laki-laki yang memang padanya ada beban tanggung jawab mencari nafkah.
Berarti pula sebenarnya seorang ibu rumah tangga telah membantu program
pemerintah mengurangi pengangguran. Inilah salah satu peran yang tidak
nampak tetapi sering tidak diacuhkan. Peran besar, meski kadang tak
harus tampil diluar rumah, oeh karenanya IBU RUMAH TANGGA adalah salah
satu anasir penggerak pembaharuan moralitas bangsa.
Kesempurnaan hanyalah milik Allah, semoga bermanfaat dan membawa pencerahan wallahua’lam bishawwab.
Sumber : here
No comments:
Post a Comment
Your Comment is Our Order, Your Majesty