Pulang dan Menikmati Masalah di Indonesia
Saya teringat memori November lalu dalam sebuah kompetisi start-up bisnis sosial di Seattle : SVP Fast Pitch. Ada 1 finalis yang punya konsep menarik, yaitu membuat alat konversi listrik dari uap sisa panci masak.
Apa problem yang ingin diatasi? Mereka menceritakan bahwa di Kenya,
untuk charge HP, perlu jalan berkilo-kilo ke tempat semacam toko jasa
charge HP, berbayar pula!
Eh, tunggu. Kenya? Yes, Kenya! Ga ada
kerjaan apa ya, mikirin negara jauh-jauh di sana... Sampai, setelah
pitch dari start-up berikut-berikutnya, saya sadar bahwa ternyata
Afrika, Asia, atau third world countries are the new trend of social
entrepreneurship di Amerika. Ada yang sedang bangun plant biomass di
Thailand (atau Myanmar), ada juga yang sedang melirik negara Afrika
lainnya dalam masalah sanitasi, dan lain sebagainya.
Sekelebat,
hmm.... agak mind-blown juga sih. Bayangan saya selama bertahun-tahun
tentang anak muda Amerika yang hedon, doyan party hingga pagi sirna
seketika. Apa mungkin masalah sosial di Amerika sudah terlalu sedikit?
Atau menjadi kaya sudah tidak menarik lagi?
Dari hasil diskusi
dengan beberapa founders-nya, saya akhirnya menyadari fenomena bahwa
sociopreneur, philanthrophy, terutama yang bersifat "menyelamatkan
dunia" menjadi sesuatu yang into, nge-tren, keren, the new standard of
"coolness" buat anak muda Amerika. Waini.
Dugaan saya, tren
belakangan artis-artis dan orang kaya yang mengarah ke filantrofis lah
salah satu yang paling membentuk gaya hidup baru ini. Bill dengan
inisiatifnya memusnahkan malaria, Mark dengan internet.org,
atau kisah Elon yang 'membuang' sekian trilyun dari exit pay pal nya
untuk membangun dunia yang lebih baik dengan Tesla dan pesawat
antariksa-nya.
Belum lagi kalau menyebut Leonardo Di Caprio yang
begitu mendarah daging menggerakkan isu lingkungan, atau Malala yang
jadi new icon hingga mendapat nobel. Ini sejalan dengan tesis bung Muhammad Yorga Permana bahwa artis/tokoh lebih mudah untuk menjadi agen peubah di kalangan anak-anak muda, hehe.
Ini menarik, karena cita-cita konvergen selama beberapa abad berupa
kekayaan absolut (baca: punya uang sebanyak-banyaknya) rasa-rasanya
mulai diimbangi dengan keinginan untuk menjadikan dunia ini lebih baik
lagi. What problems you want to solve in society? In the end, what kind
of future you are trying to shape?
Sejalan dengan pemikiran di
atas, di setiap kesempatan seminar, saya selalu bilang begini. "Kita itu
bersyukur jadi orang Indonesia. Ketika dunia luar sedang berlomba-lomba
mencari masalah, kita di sini ngesot 100 meter ke kiri dan ke kanan aja
udah ketemu 100 masalah!" Air, keluarga, kriminalitas, makanan, udara,
listrik, energi, sampah... Semua deh lengkap.
Benar lah yang
disampaikan oleh Ustadz Salim Fillah : "Jika seputaranmu terasa gelap;
curigalah bahwa dirimu yang dikirim Allah sebagai cahaya bagi mereka!"
Teman-teman, berbahagialah karena kita diberikan kesempatan untuk
menyelesaikan masalah di Indonesia, yang persis ada di depan kita hari
ini!
Kadang saya suka berpikir, rasanya juga bukan tanpa alasan,
Allah mengizinkan saya untuk melangkahkan kaki ke 20 negara di seluruh
dunia hingga usia 27 ini. Semakin lama di negara orang yang maju,
semakin terasa kontrasnya. Dan semakin mendidih darah ini untuk
melakukan sesuatu setelah pulang.
Makanya, nggak kaget kalau
pelajar atau pekerja Indonesia yang di luar negeri itu nasionalisme-nya
makin meningkat loh, justru. Yang sedang sekolah, nggak sabar untuk
menerapkan ilmunya untuk menyelesaikan masalah di kampungnya. Yang
kerja, nggak sabar untuk segera investasi kebaikan dengan modal milyaran
yang terkumpul dari hasil kerja belasan-puluhan tahun di negara orang.
Untuk menutup tulisan ini, izinkan saya menyampaikan kekaguman kepada
alumnus-alumnus luar negeri yang telah/akan pulang, yang menjadi
inspirasi saya hingga hari ini. Saya kutipkan juga sebagian quote
supernya :
Bang Romi Satria Wahono:
"balik sini, tidur di aspal republik ... rasain penatnya berdjoeang,
nikmati panasnya jakarta .... baru terserah mau ngomong apa" (izin kutip
ya bang hehe diskusi di WA)
Mas Chairul Hudaya
: "Sejak lulus Master 2009, saya lebih memilih pulang kampung membangun
negeri daripada menerima tawaran bekerja di salah satu perusahaan
konglomerat di Korea. Membangun perlu kehadiran fisik kita ditengah
tengah lapangan."
Dr. Nurul Taufiqu R:
"Banyak yang ga berani pulang karena merasa tidak dihargai secara
finansial. Saya buktikan bahwa justru lebih enak dan lebih mudah cari
duit dan berkarya di Indonesia"
Dr. Warsito Purwo Taruno : "... Selama 12 tahun di Jepang, saya merasa itu sudah sangat bosan. Segala sesuatu sudah teratur...
...Saya ingin mencari sesuatu yang baru dan tantangan baru.
...Itu juga yang menjadi alasan saya kembali ke Indonesia, meskipun
saya tahu Indonesia itu berat. Tapi kalau saya tidak putuskan, saya
tidak akan bisa memulai..." (dikutip dari interview di media)
Prof. BJ Habibie : "Lihat itu Marzan Aziz Iskandar Ketua BPPT sekarang.
Dia belajar di Jepang, lalu pulang menepati janji dan tidak berharap
apa pun saat pulang ke Indonesia. Kini dia jadi Kepala BPPT di
Indonesia. Buktikan dulu di Indonesia kalau kita memang bisa bekerja
dengan baik, walaupun lulusan dari luar negeri, bukan dengan jabatan
atau uang maka pulang ke Indonesia. Emangnya kamu siapa?"
Sejenak
saya teringat nasihat kanjeng Nabi Muhammad : "Barangsiapa yang bangun
dari tidur pagi dan tidak memikirkan nasib ummat, maka ia bukan golongan
dari mereka". Masa sih orang Amerika yang seumur-umur mungkin belum
pernah dengar itu hadits bisa lebih peduli?
Yuk belum terlambat
untuk bergerak. Kita buat dunia jadi lebih baik; dimulai dari
menyelesaikan masalah-masalah di negara kecil kita dulu. Mau yang mana
dulu nih? Sampah, sanitasi, makanan, keluarga, transportasi, pendidikan,
teknologi... Apa aja boleh, yang penting kita bareng-bareng ya
No comments:
Post a Comment
Your Comment is Our Order, Your Majesty