Monday, February 18, 2013

Lalu, Berapakah Nilaiku di Hadapan Allah?

Beberapa pekan menjelang  musim haji tiba, riuh rendah kafilah dagang mulai berdatangan memenuhi sudut-sudut kota Mekah. Kain, pakaian serta bermacam perhiasan hingga wewangian memenuhi etalase-etalase toko dan swalayan. Dari kejauhan nampak seorang pembuat kain tenun berjalan menghampiri sebuah toko pakaian. Berharap kain yang telah ia tenun berbulan-bulan dapat ia tukar dengan beberapa puluh dinar atau dirham sebagai penghasilan.
Si pembuat kain sang pemilik toko, kemudian ia utarakan maksudnya, “Tuan, saya datang kemari untuk menawarkan kain yang sudah saya tenun ini.
Pemilik Toko melihat dengan seksama kain yang ditawarkan kepadanya. Untuk memastikan analisanya, ia pun bertanya pada si pembuat kain tenun. Berapa bulan waktu yang di butuhkan untuk membuat kain tersebut.
“Empat bulan.” Jawab si pembuat kain.
“Berapa dinar Anda ingin jual kain ini kepada saya?” tanya pemilik toko.
“Dua puluh dinar” jawab si pembuat kain dengan penuh keyakinan.
Mendengar jawaban itu sang pemilik toko pun menjawab, “Saya sudah bertahun-tahun menjadi pedagang kain, saya sangat ahli dalam masalah ini. Setelah mengamati kain yang sudah Anda buat ini, maka saya hanya berani membayar enam dinar saja, ya hanya enam dinar.”
Mendengar jawaban dari pemilik toko tersebut maka si pembuat kain pun menangis.
Tidak tega mendengar tangisan dari si pembuat kain, sang pemilik toko pun menaikkan harganya menjadi delapan dinar, dan itulah harga terbaik yang bisa diberikan oleh sang pemilik toko.
Bukannya diam, namun setelah mendengar ucapan dari pemilik toko, si pembuat kain semakin tersedu-sedu.
“Baiklah aku akan memberimu uang sepuluh dinar, tapi kumohon berhentilah!” pinta sang pemilik toko.
Si pembuat kainpun berkata, “Saya menangis bukan karena seberapa besar kau nilai kain yang telah saya tenun ini. Tahukan Anda? Saya membuat kain ini dengan penuh ketelitian dan kerumitan yang sangat tinggi. Saya cari bahan-bahan terbaik. Saya korbankan waktu saya berbulan-bulan untuk mengerjakan kain ini. Dan saya yakin kain tenun ini adalah kain tenun dengan mutu dan kualitas terbaik yang pernah saya buat. Namun di hadapan seorang ahli seperti Anda, kain saya ini tidaklah berbeda dengan kain umumnya, sehingga kau hargai sangat rendah.”
“Saya menangis karena saya khawatir terhadap diri saya sendiri. Jangan-jangan amalan kebaikan yang telah saya lakukan selama ini sama seperti kain tenun yang telah saya buat. Saya telah merasa bahwa amalan yang selama ini saya lakukan sudah banyak. Kebaikan yang sudah saya lakukan sudah sangat berkualitas dan oleh karenanya saya bisa memasuki Surganya. Namun sekali lagi saya khawatir bahwa amalan-amalan tersebut  dianggap sangat kecil bahkan mungkin tak berharga di hadapan Allah . Betapa celakanya hidup saya ini jika memang demikian. Itulah mengapa saya menangis.” papar si pembuat kain.
“Saya khawatir, telalu percaya diri dan tinggi hati atas kebaikan-kebaikan yang telah saya lakukan. Saya lupa menginstropeksi sejauh mana keikhlasan amal yang saya lakukan. Pun saya terlalu yakin bahwa saya akan masuk surga karena amal-amal yang saya lakukan.” tambah si pembuat kain.
Sang pemilik toko pun turut dalam kesedihan dan berkata, “Duhai sekiranya saya ini adalah seonggok tanah, maka itu lebih baik karena tiada pertanggung jawaban sebagaimana manusia”.
“Saya teringat sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa Rasulullah pernah bersabda,“Sungguh aku mengetahui sebuah kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan yang banyak seperti bukit Tihamah kemudian Allah menjadikannya seperti debu yang beterbangan.” Maka mereka -sahabat- bertanya, “Wahai Rasulullah, berikanlah ciri mereka kepada kami agar kami tidak termasuk golongan mereka dalam keadaan tidak sadar.” Maka beliau menjawab, “Adapun, mereka itu adalah saudara-saudara kalian, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang apabila bersepi-sepi dengan apa yang diharamkan Allah maka mereka pun menerjakannya.”, Semoga kita tidak termasuk ke dalam golongan tersebut.” imbuh sang pemilik toko.
Maka keduanya pun akhirnya larut dalam perenungan.

Sumber : here

No comments:

Post a Comment

Your Comment is Our Order, Your Majesty